Pendidikan dan Kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan merupakan tempat persemaian kebudayaan. Pendidikan maupun kebudayaan haruslah dinamis demi tuntutan zaman. Pendidikan berbasis budaya di lingkungan sekolah sudah diterapkan oleh sekolah-sekolah di DIY, tentunya juga SMA N 6 Yogyakarta. Sebagai sekolah yang berada di pusat kota Yogyakarta tentunya sangat erat hubungannya dengan budaya.
SMA N 6 Yogyakarta sebagai sekolah budaya telah menanamkan pelestarian serta pentingnya berbudaya. Penanaman nilai-nilai budaya ditanamkan dengan penuh kesadaran dari saat masuk sekolah dengan metode 3 S (Senyum, Salam, Sapa). Kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan sudah tentu dimiliki sebagai sekolah adiwiyata mandiri. Oleh karena itu, Pendidikan dipandang sebagai sarana paling ampuh dalam menanamkan nilai budaya.
Pendidikan berperan sangat dasar untuk menjaga budaya tetap lestari. Budaya yang dimaksud seperti budaya lokal memiliki nilai pembentuk jati diri bangsa. Saat ini nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis dan tidak terinternalisasi pada diri siswa. Oleh karena itu kita harus segera menyikapi dan mengambil langkah. Jangan sampai kita kehilangan budaya kita sendiri.
Saat ini guru mempunyai banyak ruang untuk berdialog dengan siswa, mempunyai banyak kesempatan untuk mentransfer nilai-nilai budaya lokal. Guru dapat menanamkan banyak nilai kepada siswa dengan menguasai teknologi dengan baik. Dengan media internet sangat dimungkinkan guru dan siswa berinteraksi dengan sangat baik dalam bentuk real time. Guru dapat berinteraksi dalam suatu chatroom, berinteraksi langsung dengan real audio atau real video, online meeting, discussion group, dan masih banyak lagi. Hal tersebut menjadikan lebih mudahnya menanamkan pesan bernilai budaya lokal pada siswa atau peserta didik.
Belajar berbudaya merupakan bentuk pengejawantahan budaya dalam perilaku nyata sehari-hari siswa. Dalam pelaksanaannya guru dan kepala sekolah serta tenaga kependidikan yang berada di lingkungan sekolah dapat menjadi teladan bagi siswa (Ing Ngarsa Sung Tuladha). Siswa juga dibudayakan untuk selalu menggunakan basa dengan unggah-ungguh yang benar, sehingga dapat saling menghormati, menghargai, dan dapat juga menjadikan terhindar dari bullying. Pembiasaan berperilaku sopan santun sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan berbasis budaya menjadi sebuah metode bagi siswa yang mentrasformasikan hasil observasi mereka ke dalam bentuk yang lebih kreatif. Siswa didorong untuk berperan sebagai penciptaan makna, pemahaman, dan arti dari informasi yang diperolehnya. Pendidikan Berbasis Budaya dilandaskan pada pengakuan terhadap budaya sebagai bagian yang fundamental bagi pendidikan, ekspresi dan komunikasi suatu gagasan, serta perkembangan pengetahuan.
Dalam pencapaian pendidikan berbasis budaya lokal guru tidak hanya cakap dalam kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian, dan professional. Guru juga harus memiliki local cultural competence based technology. Di sini guru semestinya kompeten juga dalam menghargai budaya lokal dan hasil karya bangsa. Hal tersebut yang harus dicontohkan dan ditanamkan kepada siswa. Guru tidak hanya mentransformasi Iptek dengan baik dan benar, tetapi guru juga hendaknya memiliki kemampuan learning local culture dengan memadukan dan memanfaatkan hasil-hasil teknologi. Tujuannya supaya siswa tidak menutup diri pada budaya lokal untuk menuju masyarakat berbasis pengetahuan dan informasi. (Nur Ani Rosmadi, S.S.)